Menangkap Ikan di Laut "Mandul"
Pelestarian Terumbu Karang, demi Masa Depan yang lebih baik
...... “Allahu’akbar,
Allaa...a..ahu’akbar” , pagi yang masih gelap, hitam dan kelam, dingin udara
kian menyengat menusuk hingga kedalam tulang, fajar pagipun masih enggan
menampakkan diri, suara azan subuh Masjid Al-Ijtihad Lamakera sontak membangunkan Sukur yang sedang lelap
dalam tidurnya, lekaslah lelaki baligh desa Watobuku itu segera bangun membasuh
sebagian tubuh dengan aliran air wudhu, hendak segera ke Masjid di tengah
kampung tuk subuh berjama’ah, selesai memanjat do’a, kembalilah ia ke rumah.
....”Malik” ,. Suara
Sukur yang baru saja membuka pintu rumah memanggil adiknya yang masih tenggelam
dalam cakrawala mimpi. .. “Malik”., semakin meninggi nada suara Sukur coba
membangunkan Malik yang terus berlanjut lelap bersama dengkuran tidurnya. Kesal
Sukur dibuatnya, air dingin dipercikkan Sukur ke wajahnya, kaget Malik bangun
dari tidurnya dan sontak memasang kuda-kuda silat seakan ada maling yang sedang
menyelinap masuk ke rumahnya. Terpingkal Sukur sakit perut melihat tingkah
adiknya, sambil menyeringai disuruhnya Malik segera menunaikan sholat subuh .....“Selesai sholat kita langsung berangkat,
lekaslah siapkan alat pancing tangkap ikan”..... titah Sukur kepada adiknya.
Malik hanya mengangguk. Begitulah rutinitas pagi kakak beradik yatim piatu ini
untuk pergi mencari rizki memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selesai sholat Malik mempersiapkan keperluan pancing,
diambilkannya pukat senar putih ringan yang sudah lusuh, berselipkan
potongan-potongan sandal bekas kusam dan telah pudar akan warna sebagai
pengapung, tanpa pemberat perunggu, tanpa mata kail, tanpa gagangan fiber dan
tanpa lampu neon kelas satu, hanya petromax sederhana yang menemani perjalanan
Sukur Dan Malik menuju pantai, hening, sepi, tanpa gemuruh dan rusuh warga yang
masih lelap dalam tidur, Dinginnya angin subuh
yang masih kelam menambah suasana kian mencekam.
Debur ombak laut menggulung seolah sedang bergunjing
menyambut kedatangan mereka yang baru menginjak bibir pantai, beberapa kapal
motor beranjak berlalu menjemput penumpang yang adalah pedagang yang hendak
meyebrang ke waiwerang di pesisir Adonara, begitu sangat sibuk berdengung di
telinga Sukur, namun tetap tenang dalam pandangannya, melihat satu kapal motor
mendekat ke arahnya, ia pun yang hendak naik ke sampan kecil sederhana miliknya,
terus menaruh pandangan ke kapal motor yang kian mendekat..
...... “Assalamu’alaikum
Paman” sapa salam seseorang yang belum jelas dalam pandangannya ......
“Wa’alaikum Salam Opu”... Jawabnya ragu, senyum merona diwajahnya, ternyata
adalah Abdul iparnya, Suami kakak
Perempuannya, Khadijah yang kini tinggal berlainan rumah dengannya di
Motonwutun, desa serumpun di perkampungan Lamakera. biasa ia memanggil iparnya
itu dengan sebutan Opu. Opu dan Paman, begitulah biasanya kedua
lelaki baligh itu saling menyapa.
....... “ Pagi-pagi buta
begini sudah turun ke laut, Malik pun juga ikut, kau tidak sekolah hari ini
Malik.. ??”.. Tanya Abdul sambil mengerutkan dahinya, Malik hanya tersenyum diam dan memandang kakaknya
Sukur ... “Malik masih libur hari ini Opu Abdul” sambung Sukur sambil tertawa. Abdulpun hanya mengangguk sambil tersenyum
memandang Malik yang hanya terdiam, hingga akhirnya Abdul mohon pamit
meninggalkan mereka berdua dan mengemudi kapal motornya menjauh, ......”Hati-hati
Opu Abdul” teriak Sukur sambil melambaikan tangannya. Iapun sangat bingung melihat
tumpukan karung di dek belakang kapal motor milik Abdul, ia terus bertanya
dalam pikirannya entah apa isi tumpukan karung-karung itu. Belum sempat ia
bertanya Abdul bersama kapal motornya telah berlalu bersama kelamnya suasana
subuh. ...... “ Malik duduklah di depan sampan, ambilkan pendayung untuk abang”..
Malik mengangguk “ Iya Abang”.. diambilkannya pendayung kayu yang hampir lapuk
dimakan zaman peninggalan mendiang ayahnya Ridwan, diberikannya kepada Sukur,
iapun lalu meletakkan pukat senar putih di tengah sampan dan duduk dengan
tenang didepan sampan menghadap ke arah Sukur.
Sukur mengayuh sampan kecil sederhana itu perlahan dan
tenang mengikuti arah arus laut berlalu. Tak begitu lama menyusuri Selat Solor,
dari balik gunung boleng Adonara yang menjulang tinggi memancar hangat mentari
pagi yang masih malu bersembunyi enggan menampakkan diri, seakan hanya
mengintip dari balik gunung, hangatnya terus menyelimuti hingga ke dalam tulang
menetralkan dingin angin subuh menjelang pagi. Sukur dibantu Malik perlahan
melepaskan pukat senar putih dari sampan kecilnya ke dasar laut, sambil pelan
mengayuh sampan. menunggu, waktu berlalu begitu lambat, hingga mentari
tergelincir, tak satupun ikan yang didapat Sukur dan Malik. Aneh merasa,
disuruhnya Malik menyelam ke dasar laut. Malik hanya kembali dengan
menggelengkan kepala... “tak ada satupun ikan dibawah sana Abang” ... ucap
Malik terengah-engah letih menyelam, pada hal ini tempat biasa mereka menangkap
ikan ...“bahkan kepiting karang kecilpun tak ada, terumbukarang cantik yang
selama ini aku lihatpun tak ada lagi abang”.... Sambungnya, sementara berpikir
hilang entah kemana semuanya.
.....”naiklah kembali
Malik”.. suruh Sukur, Malik naik dengan raut bingung diwajahnya, Sukur kembali
mengayuh sampan kecilnya bergerak ke tempat lain, kekesalan penuh tampak
diwajahnya, mencoba berpikir kemana lagi hendak menangkap ikan. Tiba-tiba
terdengar suara ledakan membuyarkan lamunannya, Malikpun sontak kaget
dibuatnya.
Kaget, Sukur menolehkan
kepalanya kesana-sini mencari sumber suara ledakan, tak lama terdengar
lagi, Sukur mengayuh cepat sampan
kecilnya mendekati sumber suara tersebut. Ternyata Opunya Abdul sedang
melempar bom ke laut. Kesal Sukur dalam pandangannya, hendak mendekat lagi
mencoba memberi sapa salam dengan ramah.
....“ Assalamu’alaikum Opu Abdul” sapa Sukur coba beri senyum,
“Wa’alaikum salam Paman Sukur” Jawab Abdul ..... “Sedang apa Opu Abdul disini”
tanya Sukur agak kesal ...”seperti yang kau lihat Paman, aku sedang menangkap
ikan”
Ujung depan sampan Sukur
sampai di bahu perahu motor milik Abdul, ....”naiklah dahulu Malik” suruh Sukur
kepada adiknya, malik mengangguk dan naik ke perahu motor Abdul terlebih dahulu
sementara Sukur masih mencari posisi untuk melempar jangkar sampan, masih juga
menyempatkan mengobrol dengan Abdul. Malik yang sudah diatas perahu motor
mendekati Abdul yang sedang sibuk, dilihatnya banyak tumpukan bom botol berisi
belerang dengan sumbu menggantung diatas tutupannya yang digunakan Abdul untuk
menangkap ikan.... “sampai sejauh inikah Opu Abdul mencari ikan..?” Tanya Sukur yang
masih sibuk mencari tempat tambatan jangkar sampan miliknya ... “ sekarang saya
sudah jarang cari ikan di dekat pantai Paman, disana sudah tidak ada lagi
ikannya”
Sukur yang masih bingung
memposisikan sampan, terus menyambung obrolan ... “Opu Abdul, kalau pakai bom
terus, ini bukan namanya menangkap ikan Opu, ini sama saja menghilangkan ikan
dan biota lainnya di laut sini, ikan didekat-dekat pantai sudah tidak ada lagi,
itu juga karena bom ini Opu”.... Sukur coba menasehati Abdul yang masih sibuk
mengatur sumbu botol berisi belerang yang hendak dibakarnya, tak begitu
menghiraukan nasehat sukur ..... “ Kalau tidak begini kapan kita dapat uang banyak
paman Sukur, kebutuhan sudah semakin melilit, apalagi kita kampug pelosok yang
jauh dari tangan pemerintah seperti ini paman”... sambung Abdul keras kepala,
sambil membakar sumbu bom botol ditangannya, masih sempat menyambung obrolannya
..”kalau sudah bisa penuhi kebutuhan, pasti nanti saya berhenti paman”... api
sumbu botol sudah menyala merambat ke mulut botol yang berisi belerang, namun
Abdul masih terus dengan obrolanya yang
belum selesai kepada Sukur.
... “Cepat lempar ke laut
barang itu opu Abdul”.. teriak sukur panik melihat api sumbu sudah hampir
sampai ke dalam botol.
Abdul tertawa
menyeringai “Sedari tadi paman melarangku untuk tangkap ikan dengan bom,
sekarang dengan mudah suruh saya lempar bom ini ke laut........ .........”
....”BOMMMMMM” belum selesai dengan
ucapannya terdengar suara ledakan bom botol di genggaman Abdul meletus diatas
perahu motornya, Malik yang berada didekatnya ikut tersambar bom, pecah seluruh
perahu motor milik Abdul beserta isinya. Sukur hanya memandang penuh penyesalan
dari sampan kecilnya sderhananya.
Sontak biru laut yang
sedang merona beradu dengan merah darah yang mengapung bersama ikan-ikan mati.
Hanya tangis dan
penyesalan mendalam sukur yang terlihat ditengah gemuruh gelombang laut yang
makin meninggi bersama mentari tengah hari yang mulai terik.
Komentar