Motor Mogok dan Ahli Madya Muda


Fathurrahman Dasi
 Waktu itu tepat diminggu pertama bulan Oktober¸ hari-hari pertama di bulan sumpah pemuda, bulan dimana orasi-orasi pemuda banyak disuarakan dijalan-jalan, bahkan di pelataran gedung-gedung pemerintahan. minggu pertama setelah meninggalkan pekan terakhir di bulan september tanpa kata perpisahan, juga tanpa tanda mata, namun punya makna tersendiri bagi setiap makhluk yang memiliki akal dan rasa yang melaluinya.

Akhir September lalu baru saja segelintir anak muda melantunkan sumpah profesi berstatus diploma kesehatan, untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa, entah sumpah itu berporos pada ketulusan batin atau hanya sekadar ucapan tanpa makna, atau hanya sekadar lontaran lidah yang sengaja membasahi bibir saja, namun kata-kata itu telah diikrarkan dalam retorika yang teratur, belakangan baru mereka menyadari bahwa setiap lantunan itu bukan seperti syair ataupun bait-bait membosankan dalam lagu-lagu pengantar tidur anak-anak belia ke dalam mimpi-mimpi kosong, melainkan sebuah komitmen dan prinsip yang harus menjadi tambtan agar tetap bertahan kala badai hujan melanda, hal itu yang harus terus dipegang ketika terjun di dunia kerja nantinya, terlebih lagi sumpah itu adalah sebuah ikrar yang mengatasnamakan tuhan bersamanya, kelak akan diminta pertanggungjawabannya.

Ya, tepat satu minggu yang lalu anak-anak muda itu baru saja mengakhiri satu tahap dalam sebuah perjuangan panjang demi mencapai nirwana, mengambil tongkat estafet baru untuk melaju ke cakrawala berikutnya. Wisuda pekan terakhir september itu sebagai legitimasi berakhirnya seluruh kegiatan perkuliahan di kampus, dan dari status Mahasiswa telah berhijrah menjadi Alumnus yang lekas akan menggalkan almamater tercintanya.

Masih diawal bulan oktober, persisnya pada lima oktober dua ribu lima belas, bertepatan dengan hari angkatan bersenjata nasional, hari itu bersama membaranya semangat ucapan slogan kepahlawanan disudut kota, begitu pula membaranya mentari yang  berada tepat vertikal diatas kepala, dengan temperatur yang amat memanggang kulit, menghasilkan uap-uap aspal jalanan yang ramai dilalui kendaraan, nampaknya kota karang telah memasuki waktu siang hari, setelah sekian jam lamnaya mentari habis waktunya menemani pagi, dan fajar pagi yang hangat telah bermetamorfosa menjadi mentari siang hari yang begitu terik.

Tepat di persimpangan jalan Soekarno, persis satu kilometer dari arah utara tugu pancasila di bilangan selam kota kupang, bersama riak hilir pantai Tedys, seorang anak laki-laki sedang mendorong motor bututnya yang mogok, Marthen namanya, anak muda paruh baya yang kemarin baru saja mengenakan toga penghargaan atas jerih payahnya selama tiga tahun berkutat dengan tugas-tugas kuliah entah itu laporan, jurnal-jurnal praktikum, maupun buku-buku standar yang tebal yang kini sampulnya sudah penuh debu, dibiarkan begitu saja di meja kamarnya, belum lagi hafalan bahasa latin tanaman yang sampai sekarang belum juga kelar. Hari itu mungkin sang dewi fortuna tak besertanya, melangkahkan kaki dari kediamannya dengan segudang mimpi dan setumpuk harapan berada dipundaknya, namun harus kandas di pelataran markas yonif 743 dibilangan fatufeto, tepat didepan gerbang tentara itu, berpapasan dengan seorang laki-laki berbadan kekar, berwajah garang, tanpa senyum, juga tanpa sapa ramah, dengan sovenir laras panjang dalam gengganmannya, berdiri tegap, sedang piket dia rupanya, motor tua milik Marthen tiba-tiba tak bersahabat dengannya, kekesalan dalam pikirannya seketika merobohkan setumpuk harapan di pundaknya. Motor tua itu terpakasa ia dorong hingga satu kilometer jauhnya melewati persimpangan tugu pancasila yang kini tinggal bangunan rapuh tak terawat namun punya makna besar bagi ruh bangsa. Lima belas menit lamanya hingga sampai pada beranda terminal kupang yang ramai dengan khalayak, mencoba mencari tempat untuk berteduh, didepan sebuah ruko yang penuh dengan sovenir khas Nusa Tenggara Timur (NTT), matanya bergerilya meraih semuanya hanya dengan sepasang bola mata, dilihatnya banyak kain tenun dari berbagai daerah di bumi flobamora dengan motifnya yang beragam, ada juga topi ti”ilangga yang didaur dari lontar kering, serta alat musik khas NTT dari pulau rote yakni sasando dengan ragam ukuran, namun ada beberapa yang tak berdawai. Nampaknya ia sedang berteduh dibawah toko pusat oleh-oleh NTT, memang tempat itu banyak dikunjungi turis-turis manca negara, tempat transitnya para pesrta sail komodo yang baru saja berlangsung agusutus lalu. Sementara melepas lelah sambil menikmati sebotol air mineral, pikirannnya kembali gundah akan motor bututnya yang masih mogok, entah mengapa dengan motornya, apakah mesin tuanya belum dilumasi dengan oli baru, atau busi lamanya yang tak mengahsilkan api lagi, kacau pikrannya, belum lagi asap karbon dari kenalpot karatnya yang setiap hari mengganggu pengendara lain, bahkan lebih dari itu menipiskan lapisan ozon, motor tua itu telah memberikan kontribusinya dalam memperpendek umur bumi.

Hari itu ia berpakaian rapi, dengan kemeja krem lengan panjang yang sedikit kusut, mungkin lupa di setrika karena takut ditinggal waktu, celana tisu hitamnya yang licin beradu bersama coklat sepatu fantovel dikakinya, tak lupa dasi hitam mengalung dikerak bajunya yang kusut itu, juga sebuah map berwarna coklat  yang sedikit basah terkena keringat tangannya, berisikan ijazah legalisir yang capnya masih basah dan wangi, bersama kertas folio bergaris yang terpatri tulisan tangan yang amat semraut, bersama foto seorang pemuda berukuran tiga kali empat disisi kirinya. Nampaknya hari itu adalah hari pertamanya mencari pekerjaan. Betapa sulit baginya dihari pertama mengadu nasib malah nasib lebih dahulu mengadunya dengan motor tua yang masih diparkir didepannya.

Bising kendaraan lalu lalang membuyarkan lamunannya, pandangannnya beralih ke pusat keramaian ditengah terminal kupang, yang penuh dengan beragam manusia. Ada yang berpakaian rapi dan berjalan dengan penuh wibawa, mungkin dia pejabat yang sedang blusukan  atau hanya seorang sales man atau sama sepertinya yang sedang mengadu nasib. banyak juga anak-anak remaja berseragam putih abu berjalan bergerombol tanpa satupun tas dipundaknya ataupun satu buku ditangannnya, pikirnya mungkin mereka segerombol pelajar yang punya IQ diatas rata-rata hingga dapat merekam seluruh pelajaran sekolah hanya dengan mendengar, ada juga petugas pemerintahan berseragam Pol PP lengkap bersama mobil patrolinya, nampaknya sedang mengikuti gerombolan remaja berpakaian putih abu tadi, nyatanya anak-anak itu pelajar menengah ke atas yang sedang bolos sekolah. Masih di tengah terminal kupang di pelataran jalan soekarno, beberapa orang berkeliling menwarkan minuman dan makanan pada setiap orang, ada anak kecil, ada remaja, ada juga ibu tua rentah sambil menggendong anaknya yang masih belia. Disisi lain terminal banyak lelaki seumurannya, kebanyakan dari mereka tak beralas kaki, sebagian lagi bertelanjang dada, raut wajah yang hitam bersama debu-debu jalanan yang menempel dikulitnya dan rambut keringnya yang merah, namun tetap semangat berjalan ke sana ke mari, sesekali berteriak, sesekali menarik orang, kadang saling memaki sesamanya, nampaknya mereka konjak bemo (angkutan umum yang digunakan di Kota Kupang)  yang sedang berebut penumpang, ada juga yang beradu fisik hanya karena berebut seorang penumpang, hanya karena seribu rupiah berani menumpahkan darah diatas aspal yang penuh dengan debu-debu jalanan. Ya tempat itu ramai baginya, penuh dengan berbagai rutinitas, sesekali ada bemo yang datang dengan nomor jalur yang berbeda, dengan konjaknya menggantung disisi kiri pintu dengan wajah hitam silau penuh minyak dibawah terik matahari, yang selalu setia berteriak menunjukkan gigi-gigi kuningnya, ada kala berteriak “Oe bufu- oebufu”, juga ada yang berteriak “walikota, walikota”, juga adakalanya “bundaran, bundaran, kaka bundaran ko?” , tanya seorang konjak padanya, mungkin karena ia berteduh tepat ditempat biasanya bemo jalur bundaran mencari penmpang, “Sonde” jawabnya singkat.

Ia merunduk dan kembali merenung betapa kerasnya perjuangan kehidupan yang ada didepan matanya, mungkin ini sebabnya jalan di persimpangan ini diberi nama jalan soekarno, begitu selaras kerasnya dengan perjuangan putra sang fajar merebut revolusi kemerdekaan, tapi itu dulu ketika negeri ini masih dalam genggaman kolonial, kini sudah hampir tujuh puluh tahun dan anak tanah ini masih berjuang demi revolusi kemerdekaan hakiki yang belum mereka rasakan.

Kembali ia mengangkat kepalanya dan melayangkan ingatannya, masih ingat betul dalam benaknya pada dua puluh dua september lalu di hari yang masih pagi dalam sebuah acara yang khidmat digedung yang berpapasan dengan pantai teluk kupang, dengan pasir putih pagi hari, gelombang laut biru muda yang masih tenang merona dengan kuning mentari pagi yang hangat, ia bersama teman senagkatannya mendengarkan perkataan terakhir sang rektor, , ucapan terakhir rektornya terpatri betul dalam benaknya, setelah sebelumnya menyematkan tali toga dari kiri ke sisi kanan sebagai tanda penghormatan terakhir, sang rktor mengucapkan selamat kepada seluruh wisudawan yang hadir saat itu selamat, hari ini kalian resmi menjadi seorang pengangguaran”, sebagian tertawa, sebagian lagi takmpak raut takut di wajahnya, beberapa hanya diam. Entah perkataan itu sebuah motivasi atau lelucon atau bahkan mungkin seperti nubuat para nabi yang akan benar terjadi, dia tak tahu, nyatanya sudah sepekan terakhir memang sudah mereka menjalaninya.

Masih di beranda terminal Kupang di persimpangan jalan soekarno, lamunannya kembali buyar setelah seorang anak kecil kira-kira lima tahun umurnya, coba menawarkannnya koran pagi hari yang dijual siang, namun kembali ia menolak dengan jawaban singkat, datang lagi seorang laki-laki tua rentah yang sudah penuh uban di kepalanya, tersenyum menunjukkan gigi-gigi merahnya, dengan semacam tembakau menggantung dibibirnya, tanpa alas kaki, dengan bawahan gulungan kain setinggi lutut mendekatinya dan menwarkan kapur sirih, namun ia tak punya uang, kembali ia menolak dengan jawaban singkatnya lagi. Rasa sukur terlintas di fikirannya “ untung saja ia sudah bersatus Ahli Madya, mungkin akan lebih mudah mencari pekerjaan, ia tak perlu melalui kerasnya hidup sperti itu” namun rasa iba tetap saja menghampiri, kadang kita akan merasa tahu bagaimana caranya lebih bersyukur ketika melihat orang lain. Waktu sudah memasuki sore hari, ia kemudian sadar sudah terlalu lama ia berteduh di persimpangan jalan soekarno itu, sudah terlalu larut dalam lamunannya sendiri membuang banyak waktunya, karena perjuangan hidup tak akan pernah sampai dengan lamunan, karena perjuangan sebenarnya adalah dengan bergerak, berjalan, bahkan mungkin berlari agar dapat sampai pada tujuan meski harus menemui jalan terjal berliku. 

Terlintas dibenaknya, ketika baru saja merenungi realita sosial di beranda terminal Kupang, sungguh penuh dengan perjuangan, ah mungkin karena mereka sudah terbiasa hidup seperti itu, atau dia yang terlalu banyak berteori di kampus sehingga tak pernah melihat realitas kehidupan seperti itu. Semuanya berjuang seperti itu karena tuntutan hidup mereka, mengapa dia harus mudah menyerah jika anak kecil hingga orang tua rentah saja mampu dan penuh semangat berjuang, mengapa ia yang muda dan sudah bergelar ahli madya tidak memiliki semangat itu. Kadang kita akan lebih termotivasi ketika melihat orang lain. Ia kembali berdiri mendorong kembali motor bututnya yang masih saja mogok namun dengan mimpi dan harapan yang kembali kokoh dipundaknya, berlalu meninggalkan persimpangan jalan soekarno di beranda terminal kupang, seiring dengan berlalunya teriakan konjak bemo yang masih saja mencari penumpang.


*** Fathurrahman Prakon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA