Hujan di Atap Negeri



“HUJAN di Atap Negeri” 

”Tuhan adalah Tempat mencurahkan segala gelisah hidup, pun demikian juga tempat kita mengharapkan ijabah atas cita-cita masa depan, kelak kepada Tuhan pula kita akan kembali membawa cerita dan amanah dari dunia yang fana ini untuk kita pertanggungjawabkan di hari akhir nanti”. Jelas bapa pendeta.

Pagi hari ini sedikit berbeda, kebun-kebun lengang, menganggur tanpa ada yang menggarap. Setiap pagi, biasanya ibu-ibu disini sudah hadir tanpa diabsen, memikul noken, tangan kiri membawa linggis sebagai perkakas perkebunan, tangan kanan menggendong bayi yang menangis, jauh berjalan kaki menuju kebun di lereng bukit. Kegiatan rutin setiap harinya, membersihkan kebun, merawat tanaman, menanam kembali tunas-tunas baru umbi-umbian.

Hari ini hari minggu, orang lokal disini biasa menyebut hari minggu adalah harinya Tuhan, jadi seluruh pekerjaan harus diliburkan, sekolah libur, pekerjaan ke kebun libur, tidak ada yang berjualan, kios-kios semuanya ditutup, tidak ada kegiatan perniagaan. Hari ini khusus untuk beribadah, dari anak-anak sampai orang tua semua harus ke gereja. 
  •   
Ada satu bocah cilik yang berbeda dari bocah kebanyakan di kampungnya, jika anak-anak lain biasanya datang ke tempat ibadah hanya sekedar meraih keriangan dalam pergaulan anak-anak seusianya, tapi ia khusyuk sendirian dalam do’a dan harapannya pada sang Tuhan.

“Alam Indonesia itu begitu kaya, kaya sumber daya alam dan eksotisme keindahan alam itu sendiri, dan itu sudah dibagi dengan adil merata oleh Tuhan, contohnya saja di tong p kampung tanah Papua, kita ambil perbandingan daerah pante dan gunung, kalo dipante orang banyak makan ikan setiap hari, tapi dong tra punya makanan dari tanaman subur ubi dan sayur segar macam disini, jika di pantai tuhan menganugerahkan keindahan pasir putih, laut biru tosca, ikan-ikan hias yang berenang bergerombolan, maka kita di pegunungan tuhan sudah anugerahkan keindahan salju abadi di gunung-gunung sekitaran jayawijaya, dan kita di gunung sini terkenal karena tempat ini tempat paling tertinggi di Indonesia. Maka sebagai manusia kita patut untuk bersukur atas karunia yang sudah Tuhan berikan” imbuh bapa pendeta.

Tentu kita semua percaya dan meyakini bahwa Tuhan selalu ada walaupun eksistensinya tak pernah wujud dan nampak dalam penglihatan kasat mata manusia. Kita mengamini segala urusan kehidupan manusia selalu ada intervensi Tuhan disetiap sisinya, Tuhan ada di mana-mana bahkan lebih dekat dari urat nadi leher kita.

Terlepas dari keyakinan manusia dewasa. Bagi anak-anak bahwa eksistensi tuhan selalu adalah langit, Tuhan ada bersama awan di langit, bersama bintang-bintang dimalam hari, maka tatkala mereka meminta ijabah dalam doanya kepada Tuhan, selalu dengan mendongakan kepala ke nirwana, sembari menengadahkan kedua telapak tangan mengharap ijabah. Jika hari ini hujan maka itu adalah rahmat, ketika hujan reda lalu muncullah pelangi, anak-anak akan bersorak gembira, bahwa tuhan sedang menganugerahkan mereka nikmat. Pun demikian ketika langit memancarkan cahaya kilat, dan gemuruh petir, mereka lantas bersembunyi dibalik selimut, atau berlari ke ketiak bapak ibunya, mengetahui bahwa tuhan sedang marah.

Si bocah setiap minggu rajin dan rutin pergi ke gereja, bahkan mencari tempat duduk paling depan agar lebih dekat bersama pendeta, doanyapun masih sama seperti minggu-minggu kemarin. Ia hanya ingin bisa punya satu anak babi sebagai bibit untuk beternak membantu ibunya mencari uang. Disini babi memang komoditas paling elit. Cukup dengan satu ekor babi saja dengan ukuran badan yang cukup besar lalu dijual, maka tentunya sudah bisa membangun tempat tinggal seperti orang-orang di kota, sudah bisa untuk mencukupi kebutuhan makan dalam waktu yang cukup lama. sementara itu yang lainpun juga ikut berdoa, pendeta memimpin doa, seluruh jemaat ikut mengamini, lantas mengapa harapan si bocah dan seluruh jemaat tak pernah nyata?.

Jika mau di analogikan tempat ini adalah atap dari rumah Indonesia. Sebab disinilah puncak tertinggi Nusantara. Jika hujan adalah rahmat Tuhan, maka seharusnya ataplah yang pertama kali mencicipi rahmat itu. Disini memang atap, tapi jarang sekali terdengar riuh ”hujan pembangunan”. Bahkan mendung hanya sekali dua kali datang menjanjikan “hujan”, lalu pada akhirnya terbawa angin juga ke sudut yang lain.

Minggu itu hari Tuhan. Semua pekerjaan rutin diliburkan. Semua orang orang pergi beribadah merawat konstruksi spiritual dalam batin. Hari ini cerah dengan cahaya matahari yang hampir sampai menyirami seluruh sudut kampung. tetapi orang-orang terus berdoa agar “hujan” bisa turun, namun yang ada hasilnya hanya becek dan lumpur, akhirnya jalan-jalan jadi susah dilalui kendaraan dari kota. Longsor dimana-mana, seluruh kegiatan suplai logistik bahan dagangan dan makanan jadi lumpuh. Ibu-ibu masih setia menunggu datangnya beras raskin berikut kutu-kutunya. Anak-anak rewel, merengek, menangis hari ini tak bisa makan bubur kutu.

Masih belum “hujan” juga. Ditempat pegunungan ini juga biasa turun salju, pertanda tempat ini adalah tempat yang tinggi, bahkan bernafas saja menjadi agak sulit. Disini memang atap negeri. Atap yang selalu setia menaungi apapun yang ada di dalam rumah. Setiap Butir hujan yang turun lalu dialirkan dan ditampung didepan rumah, untuk kebutuhan minum dan makan, mengisi perut orang dalam rumah, tak apa-apa jika harus samapai berkarat, setiap harinya terpapar terik matahari, lalu berganti gelitik hujan yang sekedar lewat, asalkan orang rumah bisa tidur nyenyak.

Sibocah masih penuh dengan pertanyaan. Mengapa “hujan” masih belum juga turun?. Jika disini puncak tertinggi negeri ini, seharusnya jarak kita dengan tuhan mungkin cuman sejengkal, setiap do’a kita pasti lebih terdengar jelas, Tuhan dapat melihat dengan lebih jelas tentang “kegersangan” yang ada disini, mengapa “hujan” juga belum turun? Disini seharusnya tempat pertama rintik ”hujan” mengguyur. Apakah Tuhan tuli?. Setiap minggu kami komat-kamit mengunyah doa, bapak, mama, om, tanta, kaka, ade, semua kami berdoa, tapi kenapa masih begini saja?. Sampai kami menjaga betul, menjaga mulut kami, agar tetap bersih, tidak ada yang mulutnya merah karena mengunyah sirih pinang, bapak-bapak kami sebagai jemaat gereja sampai tak pernah menyulut batang rokok dibibirnya. Hanya kareana berharap segera ada jawaban doa dari mulut yang bersih itu, Tapi kenapa juga belum ada ijabah?.

Tuhan itu maha segala-galanya, Tuhan itu Maha mendengar, Tuhan itu maha melihat, tuhan ada dimanapun kita berada. Dia tau kita sedang kesusahan, dia tau kita sedang sengsara, pertolongan tuhan sesungguhnya sedang bekerja. Tapi kerja Tuhan sudah diamanahkan pada Si Tuan, tapi Tuan sendiripun hanya bilang.. “sabbar... sabbar... ini ujian. . . .. 

Kelak besar nanti Pemahamanmu akan berubah tentang dunia...  Krik. .  Krik. . Krik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA