Veteran Kesehatan











Matahari sudah terbit sejam yang lalu. Tapi suasana di sini masih gelap. Sesungguhnya memang sudah pagi sejak satu jam yang lalu, tapi di lembah ini matahari masih saja belum nampak. Hanya siluet semburat kuning dari balik-balik gunung yang terlihat. Matahari sedang bersembunyi di punggungnya. Sebenarnya memang sudah pagi sejak tadi, tapi belum ada riuh keramaian. Wajar. Disini. Tempat dimana sekarang ia berada, tepat dipinggiran Disterik. Sepi. Jauh dari pusat kecamatan yang terpisah satu aliran sungai.

Pagi hari ini tanpa hujan, namun dedaunan tetap saja basah, embun menghiasi ditepi-tepinya. Udara terasa dingin. Ia merapatkan jaketnya. Uap keluar setiap menghembuskan nafas, bercampur asap sebatang rokok yang sedang membara di celah jemarinya. Kabut-kabut mengambang di perbukitan, memayungi ladang dan kebun-kebun dibawahnya. Hijau tanaman. Ubi-ubian dan sayuran melimpah. Menyegarkan. Beberapa bulan lagi mungkin akan siap panen.

Pagi ini ia sedang duduk di sebuah pondok hitam, persis di ujung lapangan. Tak ada yang menemaninya. Ia seorang menikmati kesendirian. Satu tongkat kayu sedang bertengger di dinding pondok. Mematung setia menjaganya. Tongkat kayu yang selalu ia bawa sebagai pijakan langkahnya yang gontai. Kaki dan lututnya sudah tak sanggup lagi menopang tubuh.

Saat ini memang sedang di pagi hari di tengah pegunungan, tapi ia seperti berselimutkan senja. Sedang menyimak sunshet di lepas pantai . Rambutnya sudah memutih, pertanda usia tidak lagi seperti pagi. Menyejukkan. Penuh semangat. Rambut putihnya, mengisyaratkan bahwa usia sudah merengsak senja, semua kenangan dan harapan yang belum sempat tercapai , harus siap ia gantungkan pada mentari merah di kaki cakrawala. Sebentar lagi terbenam. Hilang dalam samudera.

Lapangan hijau tempat ia duduk sekarang, dulunya adalah lapangan lepas landas pesawat kletek, sejak pertamakalinya digunakan orang-orang asing misionaris yang membawa misi keagamaan. Ada tiang kantong udara menancap dipinggirannya, melayang-layang mencari kemana angin berlalu. Itu dulu. Kini bukan maksud ia memantau pesawat terbang disisi-sisi gunung, atau melihat kantung udara yang melayang sibuk mencari arah. kini ia duduk di sini, hanya mencoba melayangkan imajinasinya, mengarahkannya pada kehidupan masa muda dulu. Mengurutkannya satu per satu disetiap tarikan rokok di bibirnya.

Dulunya beliau adalah seorang pelayan kesehatan di wilayah ini. Berbekal pelatihan dasar kesehatan dari para misionaris. Ia dan belasan rekannya dinobatkan untuk jadi pelayan kesehatan diwilayah pegunungan ini.mengobati yang sakit, merawat yang terkapar lunglai, melayani dengan hati. Pak manteri begitulah masyarakat akan menyapa orang-orang kesehatan ditempat ini.

Melakukan pelayanan di daerah ini mungkin akan sedikit sulit, sebab keadaan geografis pedalaman papua yang bergung-gunung, berlembah-lembah, ditambah lagi kebudayaan orang pegunungan yang tinggal selalu berjarak. jauh dari keramaian. Sulit untuk menjangkau setiap warga. Kita tidak bisa langsung menyatakan gunung-gunung jadilah kau datar, kun fa yakun maka jadilah datar. Jika di kehidupan semua bisa segampang itu, maka dunia akan sulit mencari kesimbangan, dan kekacauan dan bencana bisa saja terjadi disetiap belahan bumi. Jika musa bisa mengajak harun beserta pengikutnya membelah lautan merah dengan tongkatnya, maka ia bersama belasan rekan lainnya dapat membelah gunung, dengan kakinya. Yang telanjang tak beralas. Menjelajahi pegunungan. Menuruni lereng menaiki bukit, menyusuri lembah demi lemmbah, mendaki gunung, menyisir hutan. Berjam-jam lamanya. Semua itu agar dapat menjangkau warga di balik-balik gunung yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Berpindah-pindah selayaknya manusia neolitikum dahulu. Sampai hari inipun masih ada yang melakukan hal serupa. Jika membandingkan dengan hari ini, terlalu na’if bila mengatakan sulit melayani ditengah keberadaan akses dan kelengkpan fasilitas. Ditengah bergulirnya anggaran otonomi khusus yang berlimpah ruah. Kesejahteraan lebih terjamin.

Dizamannya dahulu Iklim pegunungan memang seperti biasanya. Dingin. Tapi tidak untuk iklim politik saat itu. Konflik di mana-mana. Berdebat dengan keluarga sendiri. Memilih berdiri sendiri ataukah berintegerasi dengan NKRI. Berjuang membelah gunung ditengah iklim politik yang sedang memanas, dua kali perjuangannya memberikan pelayanan kesehatan di tempat ini. Jika para pejuang 45 yang kini sudah seusianya digelari veteran, maka seharusnya iapun. Disematkan berbagai pangkat kemiliteran, maka seharusnya ia pun juga patut menerima penghargaan. Diundang ke Istana, mendapat uang pesangon setiap bulan layaknya purnawirawan, atau hanya sekedar memotong nasi tumpeng di halaman istana. Bahkan sampai saat inipun beliau masih saja luntang-lantung tak jelas menopang kehidupan keluarga.

Bersyukur Ia dikarunai seorang anak laki-laki. Berharap bisa mengubah semuanya. Karena anak-anak adalah aset. Investasi masa depan yang lebih baik. Setiap Bapak dan Ibu selalu punya harapan agar anak-anaknya. Generasi keturunannya memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding mereka, mampu menopang kehidupan keluarga. Tapi tidak untuk pak tua ini, kehidupan anaknya pun masih sama sepertinya, keterbatasan masih mengiringi disetiap sisinya. Mungkin belum saat ini, waktu yang akan memberikan jawaban, jika bukan pada anaknya mungkin pada cucunya yang baru berusia setahun.

Bila sudah duduk bersama, beliau akan gemar bercerita tentang kisahnya. Kisah yang entah arah ceritanya kemana, cerita yang kadang kisahnya loncat kesana  ke mari, tapi tetap saja selalu asik untuk menyimaknya, ada petuah dan wejangan. Ada hikmah dan pelajaran disetiap tutr katanya. walaupun dengan alur yang tak tersusun rapi, dari sebagian yang bisa dipahami, setidaknya sudah bisa menerawang keadaan masa lampau di tempat ini. Walaupun dengan plot yang tak berarah, guratan lelah diwajahnya sudah bisa menceritakan semua perjuangannya, rapuh kaki lebarnya sudah mampu mengisahkan semua pengabdiannya, meski selalu tak beralaskan sandal atau sepatu bermerk, namun langkahnya sudah tercatat di altar langit. 

Aliran sungai semakin riuh, rupanya sedang hujan di hilir. Sungai semakin beriak. Beliau masih di tengah lamunannya, sahdu merenungi nasibnya, nasib anak dan cucunya. Andai saja air di sungai bisa mengalir kembali dari hulu ke hilir. Iapun sama ingin sekali kembali ke masa mudanya. Mewujudnyatakan mimpi dan cita-cita yang belum terbayar. Bersama aliran sungai di sebelah sana ia hanya bisa titipkan  rindu dan harapannya.  biar sampai ke hulu lalu berenang bebas di samudera mencari jalan bersama gelombang, atau ia tanamkan saja di halaman kebunnya agar bisa tumbuh kembali menjadi nyata untuk anak dan cucunya kelak.

Kabut-kabut sudah pergi nun jauh di kaki pegunungan, cahaya sudah seluruhnya menyirami lembah. Jemarinya menangkis silau fajar yang menerpa wajah. Di seberang lapangan Ibu-Ibu sedang asik berjalan sembari memikul noken di garis kepala. Didalamnya terdapat berlimpah hasil alam, siap dijajakan di pasar pusat kecamatan. Rupanya manusia sudah mulai sibuk dengan hiruk pikuk dunia. Disisi yang lain anak-anak sekolah dasar sedang berkejaran, bergurau menyambut hari, hingga seragam merah putih dibadan jadi lusuh dan kotor tersambar lumpur dan becek. sebentar lagi bel sekolah akan berdenging, pertanda pelajaran akan segera dimulai. Merekapun sama dengannya bersekolah pun tanpa alas kaki, mungkin nantipun akan sama seperti kakinya, rapuh dan lebar.  Tak apa-apa jika kaki sampai penuh lumpur dan becek asalkan isi kepala bisa subur seperti kebun di belakang rumah. Melimpah ilmu dan moral disana. Akan lucu sekali bila bisa melihat cucunya bersekolah kelak, Ia tertawa sndiri memperlihatkan giginya yang sudah tinggal beberapa, tongkat kayu didinding sedikit bergetar ikut terbahak. Ia kemudian beranjak di sisa tarikan rokok terakhir yang makin pahit di pangkal puntung. Pergi menjenguk cucu di rumah anak atau mungkin mencangkul tanah di kebun. Beberapa kegiatan yang bisa mengisi hari senjanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA