Hujan di Langit Borobudur

Kalau bukan karena praktek lapangan akhir april dua ribu lima belas lalu, mungkin aku tak pernah sampai di tempat ini, perjalanan sepuluh hari empat kota, menjelajahi Jawa, perjalanan yang mungkin sudah sedikit usang dalam memori, dari kota pahlawan surabaya, malang, semarang, hingga kota budaya jogjakarta. kalau bukan karena perjalanan sepuluh hari itu, mungkin aku juga tak pernah berpose indah di tempat ini.

Lawatan ke borobudur, ketika separuh perjalanan telah ditapaki, dari semarang dan akan berlanjut ke jogjakarta, perjalanan setelah kunjungan ke sidomuncul, penat gendang telinga mendengar bising suara mesin pabrik, dan sampai di kota magelang, kota militer, kota sejuta bunga, kota persinggahan sejenak melepas penat, persinggahan untuk melihat maha karya dunia, monumen tua yang sudah agak rapuh, tergambar panjangnya usia dengan penuh cerita.

Kira-kira tepat pukul 3 sore waktu magelang, dan prayogo, bis rombongan kami tiba di pelataran parkir borobudur, sore yang tak terlalu terik, dengan pancaran sinar mentari yang samar di balik awan-awan tebal. Tak banyak pijakan langkah sampai ke gapuranya, tak sampai sejam suara toa pemandu mulai berkoar bercerita tentang candi tua ini, candi tua yanh terdiri dari sepuluh tingkat, dengan ratusan stupa budha, candi tua yang terpahat beribu relief yang mengilustrasikan tahapan kehidupan manusia sebagaimana termaktub dalam mahzab mahayana, bermula dari kamadhatu, ruphadhatu, arupadhatu, hingga arupha sebagai lambang nirwana tempat budha bersemayam.

Jika saja di abad tujuh masehi tak ada wangsa syailendra dan si raja simarathungga, mungkin kita tak pernah mendengar borobudur. Borobudur dengan beribu relief, yang punya banyak cerita tentang peradaban manusia, peradaban manusia yang baru mulai mengenal aksara dalam bentuk sederhana. Bangunan yang pernah hilang tertutup tanah, hutan belukar, jika saja di tahun seribu delapan ratus empat belas tidak di temukan lagi oleh Thomas stamford raffles, mungkin sekarang kita masih belum melihat bangunan penuh seni di tanah magelang ini.

Candi tua yang hanya ku baca dalam buku pelajaran sejarah dulu, kini bukan sederatan tulisan lagi yang disusur mata dalam setiap ejaan, kini aku sudah berdiri diatasnya, tepat di tingkat Arupha, laksana ku telah mencapai jiwa sempurna, mencapai budha di atas nirwana, sebagaimana cerita dalam mahzab mahayana. dari tempat tertinggi ini dapat mataku menyusuri sabana, hijau pegunungan, juga keramaian di kaki borobudur. Langit mulai hitam penuh pekat, terbawa angin semilir ke ujung pegunungan, mungkin tak lama lagi gerimis akan menyapa melerai wisata mesrahku bersama borobudur.

Kami bangga punya bangunan eksotis ini, bangunan karya tangan leluhur kami, yang masih buta aksara modern, yang tak pernah mengambil kelas arsitek di bangku kuliah.

Ini warisan leluhur kami, sebuah maha karya dunia, berdiri jauh sebelum ada kata hindia belanda, apa lagi Indonesia, akan selalu terkenang dalam sanubari dunia.

Bersama mendung awan hitam, dan rintik hujan di langit borobudur, di akhir kediaman april dua ribu lima belas lalu, AKu hanya rindu ingin kembali.

Koleksi
fathurrahmanprakon.blogspot.com
18012016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA