Kota Seribu Pura






Ramai kendaraan hilir mudik siang ini. Di seberang jalan beberapa laki-laki dewasa dengan udeng putih melingkar di kepala, sedang gigih mengangkat peti mati. Saling menyokong bambu dia atas bahu, sebagai penopang peti yang tadi. Raut wajahnya melukis duka. Mereka sedang berkabung, kehilangan salah satu sanak keluarga tercinta. Rupanya begini adat budaya orang Bali melakukan upacara kematian. Di sini biasa orang menyebutnya dengan ritual Ngaben. Mayat orang meninggal di arak sepanjang jalan, kemudian dibakar untuk menyucikan roh dari jasadnya. Begitulah tutur bang Chogan yang masih ku ingat.

15 Maret 2016. Beberapa hari setelah hening peringatan Nyeppi 9 maret lalu. Kami di hari ke enam tahun baru saka 1938. Pukul 12.00 siang kami di sekitaran Jalan di wilayah Sesetan, Denpasar, Bali. Berenam kami hanya melihat upacara Ngaben di seberang jalan melalui kaca jendela mobil yang kami tumpangi. Saya, Yuni, Edward, Hezan, Ale dan bang Chogan sebagai pengemudi mobil. Hari itu kami menyewa mobilnya untuk berwisata ria di Bali, dan di awal perjalanan ini kami sudah disuguhi wisata budaya Ngaben, Tentang arak- arakan upacara kematian di Kota Denpasar.

Saya, Yuni, Hezan dan Edward. Kami berempat datang ke Denpasar bukan semata untuk berwisata. Senin kemarin (14 Maret 2016), kami baru saja usai mengikuti setiap tahapan tes Nusantara Sehat batch ke 3. Hanya beberapa hari kami di Kota Denpasar. Waktu kami memang singkat. Hari ini kesempatan kami untuk bisa melihat tempat wisata di pulau Bali. Sudah sejak kemarin, saat usai mengikuti tes Nusantara sehat, perjalanan hari ini sudah kami sepakati bersama.

Sembari roda mobil berputar, menapaki setiap depa aspal jalanan. Imajiku mulai menjelajah relung khayal. Tentang keindahan danau Pura Bedugul, Pantai Kuta, Pantai Pandawa, juga Tanah Lot. Tempat-tempat itu menjadi agenda perjalanan kami hari itu. Memang cukup jauh dari pusat kota. Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke sana. 

Pukul 01.00 siang. Kami masih di pusat kota. Kali ini di wilayah Renon. Ini tempat gedung-gedung pemerintahan berjajar. Untuk kami yang baru di Kota Denpasar, mungkin tak pernah tahu kalau itu gedung perkantoran. Unik memang, gedung pemerintahan di sini semua bergaya kental budaya bali. Dindingnya penuh dengan ornamen pura. Seperti corak istana kerajaaan Hindu.

Denpasar memang kota besar. Perjalanan siang hari sangat rentan kemacetan. Kami terjebak diantara padatnya kendaraan. Suasana di luar begtu terik. Sesekali kami dapat melihat uap aspal jalan terjerembab keluar dari pori-porinya. Bali mungkin lebih indah dibanding Kupang, tapi soal panas terik sama saja, tak ada bedanya. Macet, sanagat membosankan. Hanya bising suara radio lokal yang menemani kemacetan siang ini, terus bersahutan dengan bunyi keroncong lambung yang memebri sinyal belum di isi.

Warung sederhana di tepian jalan yang sepi pelanggan, tempat kami memadam kelaparan. Warungnya bukan khas bali. Tak ada menu khas bali di sini. Daftar menunya sama saja dengan warung pada umumnya. Nasi putih, bertabur mi keriting, dengan telor ceplok di atas gundukannya.
Mentari tengah hari di Denpasar, seperti hanya diam di tengah langit. Tak bergeser walau sejengkal. Sejam sudah kami rehat mengisi perut.  Namun panas teriknya masih saja sama. Pukul setengah dua siang, kami melanjutkan perjalanan. Bang chogan menunjukkan tempat ibadah lima agama di satu tempat yang sama. Berdampigan, seperti bergandeng tangan membawa pancasila. Ini wilayah sandu. Sebentar lagi kami tiba di pantai pandawa.

Allah menunjukkan Keagungannya. Kami di atas bukit batu, melihat landscape keindahan alam lambang kebesaran sang pencipta. View seperti ini, pernah ku lukis bersama temanku di sekolah dasar dulu. Kini bukan lagi di atas kertas. Sudah nyata di jajah mata. Jalanan di sini dinaungi dua bukit batu. Seperti ada bekas kikis di punggungnya. Jalanan ini memang bekas gunung batu yang dibelah. Memang tempat indah, selalu ada tantangan untuk sampai di sana, tak peduli jalanan itu terjal berliku. Pantai Pandawa memang menawarkan keindahan alam maha laut. Dari sini kami bisa melihat padang ragam warna di lautnya. Biru kehijauan di pangkal pantai, biru terang di tengahnya, di hiasi buih putih arus, seperti menari terbawa angin di atas pusaranya. Pantai Pandawa. Ini destinasi baru di pulau dewata. Akses ke sini sudah terbilang mudah, tak seperti dahulu. Perjalanan lelah terbayar sudah. Keindahan Pantai Pandawa sampai saat ini masih terbawa. Tak mau luput dari imaji. Masih ada destinasi lainnya yang harus kita kunjungi. Kita harus membagi waktu. Pantai kuta dan Tanah Lot sudah menanti.

Masih ada turis yang asik berselancar sore hari ini. Berdiri di atas papan selancar, meliuk-liuk terbawa gelombang yang deruhnya terus bergulung, berkejaran membawa buih putih air lalu hilang di bibir pantai. Pukul 03.00 sore kami di pantai kuta. Pantai yang sohor keindahannya sudah sampai seantero. Tentang gelombang lautnya yang asik untuk berselancar, juga tentang keindahan senja di merah langit sore menjelang malam. Sore yang masih terik seperti ini, biasa orang datang untuk berjemur. Di sepanjang pantai turis asing berserakan memanggang kulit di atas pasir. Tak banyak orang lokal yang kami temui, apalagi orang timur seperti kami. Pantai Kuta memang pusat wisata di pulau Bali. Pantai dengan pasir putih membentang 2 km jauhnya. Melengkung, Membentuk sabit. Lalu menyambung lagi ke pantai sanur di sebelahnya. Dua pantai wisata berseblahan, seperti Pantai Lasiana dan Manikin di Kupang. Namun panaroma di sini jauh lebih indah. Kami masih berjalan menjejaki sahara Pantai Kuta. Pendopo minuman berjajar menghiasi di pinggiran pantai. Sesekali penjaganya menwarkan kami untuk singgah sejenak. Kami tak banyak waktu. Sudah pukul lima sore. Agar bisa memeluk sunset di Tanah Lot, kami harus segera bergegas.

Tanah Lot. Daratan di tengah laut. Begitulah arti katanya yang ku baca di halaman google. Sejarahnya dulu di sisni. Raja pernah melihat cahaya suci di arah selatan bali. Lalu di buatlah pura ibadah tempat bertapa. Dengan kesaktiannya, sebagian daratan dibawa ke tengah laut. Jauh dari hiruk pikuk keramaian. Dengan keindahan seperti ini memang cocok untuk semedi, menenangkan batin, mencoba lebih intim dengan alam. 

Mentari di ujung laut. Pangkalnya sudah hampir ditelan air garam. Sinarnya tampak memerah mewarnai langit, pertanda hari akan menjemput malam. Kami sudah di gapura Tanah Lot. Bang chogan memang pandai mengatur waktu. Kami tiba tepat di senja hari. Di sini tempatnya lebih tenang. Sakral. Wajar ini tempat ibadah umat Hindu. Banyak pria ber- Udeng putih menghias kepala, dengan kuntum bunga kamboja menyelip di antara daun telinga, juga wanita berkebaya Bali, cantik dan ayu berjalan menunduk kepala. Nuansa Nyeppi di sini masih terasa. Kami terus berpose di setiap spot keindahannya. Berjalan menghirup angin senja. di sini udaranya memang menyegarkan. Ku hirup perlahan lalu menyebar memenuhi paru. Ku hembus lalu ku hirup lagi. Udara kotor di dalam paruku mungkin sudah tersaring dan segala gelisah hidup seketika larut di dalamnya. Tempat ini memang cocok untuk menenangkan jiwa. Melupa sejenak urusan duniawi. di sini serasa sedang bercinta dengan keindahan alam.

Hari sudah gelap. Mata pun samar menatap sekeliling. Satu-satu lampu taman mulai gemerlap memancar cahaya. Lalu memantul silau di kening yang penuh dengan keringat. Sudah sehari, waktu kami habis di tengah perjalanan. Sudah penuh berselimut keringat di badan. Lelah. mungkin itu yang sudah menonggok dalam jiwa. Namun semua sudah terbayar dengan keindahan semesta yang sudah memanja retina. Semoga berkesempatan kembali ke pulau dewata. Aku masih ingin kembali. Indahnya pulau seribu pura. Bali memang seperti Candu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA