Festival Lembah Baliem Meretas Sejarah



Festival Lembah Baliem Meretas Sejarah
Berdirinya suatu negeri diawali dengan adat istiadat dan kearifannya masing-masing, waktu yang kemudian akan membawa kearifan ini untuk meniti satu jalan menuju sebuah peradaban baru, jalan yang mulus atau terjal, semua pada akhirnya akan menjadi satu bingkai sejarah, yang kemudian akan selalu di kenang dalam satu peradaban yang baru.
Lembah Baliem, hamparan lembah aluvial, hamparan sabana hijau luas di pegunungan Jayawijaya, tepat di titik tengah pulau Papua, bentangan lembah di ketinggian 1500 – 2000 mil di atas permukaan laut, dengan temperatur udara bak di kutub utara, lembah yang terkenal karena diapit pegunungan barat yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, yakni puncak trikora, puncak yamin, puncak mandala serta puncak kartenz. Tak seorangpun tahu selama berabad-bad bahkan hampir menginjak kemerdekaan indonesia, bahwa di lembah ini ada kehidupan orang-orang asli papua yang hidup dalam isolasi dunia luar, kehidupan tradisional yang sangat bergantung pada alam.
Suku Dani, atau biasa kebanyakan orang menyebutnya Orang Dani adalah penghuni yang menjalani kehidupan di lembah eksotis ini, berabad-abad lamanya hidup dalam cawang lembah ini tanpa sedikitpun tahu tentang dunia luar, bahkan penjajahan oleh kolonial yang berlangsung 3 abad lamanya hingga perjuangan-perjuangan pribumi untuk merebut kemerdekaan pun tak pernah ada dalam benak. hidup dalam cawang lembah seperti ini yang paling menjadi prioritas adalah tentang alam, menggarap alam, menikmati hasilnya, kemudian dipersembahkan kembali untuk alam, tak pelak pegunungan yang melingkari lembah tempat hidup mereka selama ini, yang menutup pandangan mata mereka terhadap dunia luar, yang menyekat akal pikiran mereka tentang peradaban baru, pegunungan itu selama ini telah menjadi batas teritori alam yang sama sekali tak pernah terjadi interaksi timbal balik, baik ke luar maupun ke dalam lembah ini, lingkaran pegunungan dengan puncak salju abadi ini telah menjadi batas-batas kedaulatan alami lembah baliem.
Sekelompok manusia yang masih hidup dengan sistem peralatan gaya neolitik, mungkin itu yang bisa digambarkan tentang Orang-orang Dani di masa lalu, alam menjadi lahan utama mencari hidup, bercocok tanam, perburuan hewan, sudah menjadi kegiatan keseharian orang-orang Dani di masa lalu. Tak heran jika hari ini kita dapat melihat orang-orang dani dengan tampilan fisik yang kekar, berotot, dengan mental baja, karena leluhurnya sudah sangat di tempa oleh alam tempat berpijak.
23 Juni 1938, menjadi awal terbukanya koneksi dunia luar ke dalam lembah ini. Adalah Richard Achbold dalam ekspedisi American Museum of Natural History, orang pertama yang secara tak sengaja melalui jendela pesawat melihat hamparan lembah hijau ini, akhirnya melakuakn pendaratan darurat di Ibele. Pendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan mulai di laksanakan, orang-orang asing mulai berdatangan membawa misi keagamaan, dan inilah awal manusia Dani lembah Baliem mulai mengenal agama dengan sistem kehidupan dan peradaban baru di mulai.
Kota wamena, kota yang dulunya adalah sebuah terra incognita, yang dulunya adalah sebuah lembah hijau yang begitu lamanya tak pernah di ketahui seorangpun bahwa ada kehidupan yang sedang berlangsung di sana, kini telah menjadi salah satu kota dengan peradaban modern di wilayah pegunungan tengah Papua.
Kini bukan hanya lagi Orang Dani papua di pegununga tengah saja yang berdomisili di kota ini, namun berbagai suku pun hadir di kota ini, mencari peruntungan dalam dinamika papan catur ekonomi, dan dapat dilihat sebagai kota dengan kemajemukan kultur dan budaya, namun begitu nampak sekali ketimpangan yang terlihat antara orang asli papua, dengan orang pendatang.
Setiap bulan Agustus, menjelang perayaan dies natalis Ibu Pertiwi, sudah menjadi agenda tahunan dirayakannya festival budaya lembah baliem di kota wamena, sebuah kegiatan akbar untuk kembali mengingatkan tentang peradaban awal kehidupan asli Orang Dani di Lembah Baliem. Perayaan yang Membawa pikiran anak muda Dani untuk membuka ruang imajinasi tentang kehidupan nenek moyang terdahulu, orang-orang tua yang pernah hidup di masa itu kembali membuka berkas memorial, mereka ulang  kembali kehidupan mudanya yang sudah lalu. Sebagai Orang Dani yang hidup di zaman yang serba modern ini menjaga, memelihara dan mengenang kehidupan masa lalu dalah suatu hal yang sangat sakral. Untuk itu festival budaya ini terus diperingati setiap tahunnya.
08 Agustus 2017 kami berkesempatan untuk hadir dalam perayaan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB). Tahun ini kegiatan ini di laksanakan pada tanggal 08 – 11 Agustus 2017 bertempat di Distrik Walesi Kota wamena, Kab. Jayawijaya, dengan agenda acara 3 hari berturut-turut akan di laksanakan drama kolosal tentang perang-perangan di kehidupan awal orang-orang Dani di lembah baliem yang bertempat di Distrik Walesi, dan di hari terakhir pada tanggal 11 akan di tutup dengan karnaval, arak-arakan kebudayaan di sepanjang jalan kota wamena.
Berada di tengah-tengah perayaan festival budaya lembah baliem, kita seperti berada dalam bioskop dengan kacamata 4 dimensi, kehidupan awal Orang Dani Lembah Baliem begitu nyata dalam pandangan mata, pertunjukan drama musikalisasi ini tidak ditampilkan in door seperti opera pada umumnya, pertunjukan ini langsung dilakukan dalam sebuah lahan lapang luas yang yang langsung menyuguhkan pemandangan eksotis pegunungan hijau tanah papua, berikut langit biru di nirwana, kita tidak akan hanya dimanja akan kekayaan wisata kebudayaan dan kultural kehidupan Orang-orang Dani, begitu juga kekayaan alam bumi papua begitu terpampang indah memantul dalam retina.
Sekumpulan manusia dengan setngah berbusana, para lelaki dengan tubuh kekar berotot yang hanya mengenakan koteka dan ornamen-ornamen kebudayaan mengiasi tubuh, para wanita yang hanya mengenakan dedaunan rumbia kering yang kemudian diberikan tali untuk dijadikan rok untuk bawahan dengan atasan singkapan tirai noken mengalasi dada. Berkumpul melingkar melumpat menari, seraya berteriak dalam irama yang sama. Jemari kaki tak beralas setia menghentak bumi dalam setiap nada irama teriakan alam.
Kini wamena bukan lagi lembah baliem dengan dinamika kehidupan tradisional, dengan orang tradisional yang hanya setengah berbusana, bukan lagi contoh generasi neolitik yang sangat bergantung pada alam, sekarang wamena adalah bentuk peradaban baru lembah baliem dengan perjalanan historis yang tersisa diantara perayaan festival budaya lembah baliem yang terus di pelihara.
Akhir peradaban yang sudah ada jangan sampai kembali pada peradaban awal hanya karena ketimpangan sosial yang begitu nampak. Karena hakekatnya peradaban yang sesungguhnya terjadinya pergeseran kebudayaan lama, cara hidup lama orang-orang pribumi di tanahnya  menuju perubahan-perubahan demi kemajuan manusia dan tanahnya, bukan untuk menjadikan ladang hidup bagi orang non pribumi.
Jika pada akhirnya peradaban yang di semai adalah peradaban yang menghimpit generasinya sendiri, sepertinya mereka akan memilih bukan hanya untuk kembali meretas sejarah masa lalu dimana para leluhur, bapak, ibu mereka yang walupun mata untuk memandang dunia luar tersekat oleh gunung-gunung dengan puncak salju abadi, yang walaupun akal untuk berfikir tentang peradaban baru hanya berkubang pada cawang lembah berabad-abad lamanya, namun kehidupan sederhana yang sangat berkutat dengan alam begitu nyata kesejahteraan dan kemakmuran serta kesimbangan ekosistemnya dapat memberikan kedamaian. karena puncak perdaban suatu negeri selalu berkutat pada dua kata itu. Atau mungkin mereka akan memilih mengambil gerakan untuk mencari kualisi dengan kelompok asing yang dalam perjalanan historisnya, sebagai kelompok yang membuka mata dan pikiran, yang pertama kali membuka tirai peradaban baru bagi orang-orang Dani ini.F. Prakon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA