2 Sahabat Pengayuh Becak



Koson dan Lombert

Panas terik, siang hari di kota wamena, orang –orang berkerumun di perempatan jalan irian menyaksikan perkelahian dua anak muda paruh baya, saling meninju, mengejar, memaki, terjatuh, kemudian kembali bangkit lagi memasang kuda-kuda, dan perkelahian itu kembali berlanjut.  perkelahian ini entah sudah berapa babak berlangsung, tak ada yang tahu siapa wasit yang menjadi hakim  penengah perkelahian satu lawan satu ini . Nyatanya perkelahian siang itu ramai dengan euforia penonton yang penuh sorak sorai memberi dukungan, hanya saja tak ada atribut yang jelas tentang identitas penonton ini, entah dia pendukung siapa, dan yang lainnya mendukung siapa, semuanya begitu asik berteriak, pukul.. pukul... balas,,, pukul lagi.

Koson dan Lombert keduanya adalah anak  Lany yang besar di Distrik Makki, mereka berangkat bersama dari kampung halamannya, hendak merantau ke Kota Wamena untuk melanjutkan sekolahnya, kendati orang tua yang tak mampu, serta keadaan keluarga besar yang berstatus orang tak berada, memaksa kedua sahabat ini menyatukan tekad untuk tetap melanjutkan sekolahnya, apapun caranya mereka tak boleh putus sekolah, sebab pendidikan merupakan hal paling penting di zaman sekarang, orang berijasah yang kerjanya jauh lebih ringan dibanding para  pekerja kasar tak berijasah begitu jelas kesenjangan penghasilannya, zaman sekarang, orang lebih dinilai hasil kerjanya dengan otak untuk berfikir, dibandingkan para pekerja kasar yang hanya mengandalkan otot, untuk itu melihat keadaan ekonomi keluarga yang begitu terbatas, memacu semangat kedua anak sulung di keluarganya ini untuk mengubah itu semua, ini dalah amanah besar yang harus terwujud.

Sudah diputuskan, misi pun di mulai, apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkan biaya sekolah secara mandiri. Sebagai orang asli yang baru menginjak kota wamena, baru pertama melihat hiruk pikuk kota, tak banyak modal keahlian yang dimiliki, butuh adaptasi, butuh ancang-ancang awal untuk mendapatkan irama yang sama dengan orang-orang kota.

Wamena merupakan salah satu kota central di pegunungan tengah papua, kota dengan kemajemukan kultur budaya, kota yang terbilang kecil akan tetapi menjanjikankan roda perekonomian yang cukup besar,untuk itu segala pengembangan terus dilakukan, pendidikan, kesehatan, semua bidang mulai di proyeksikan, transportasi sebagai penunjang pembangunan pun juga mengalami perkembangan. Becak merupakan salah satu alat transportasi di kota wamena yang unik dan mungkin jarang ada pada umumnya di wilayah timur Indonesia katakanlah seperti kupang-NTT,  Ambon di Maluku, bahkan Jayapura yang merupakan ibu kota provinsi Papua pun tak ada sama sekali alat transportasi seperti ini. Inilah salah satu keunikan, sebagai salah satu daya tarik wisata di kota wamena. Sejarahnya pertama kali becak diadakan oleh orang-orang madura pertama di kota wamena. Untuk menambah keunikannya ini, permerintah mengeluarkan kebijakan bahwa semua becak yang ada di kota wamena diharuskan orang asli papua yang menjadi pengayuhnya. Ini menjadi salah satu peluang Koson dan Lombert mendapatkan lahan keuangan untuk bisa membiayai sekolah kedua sahabat ini, tak tunggu lama-lama mereka  segera menawarkan jasanya kepada juragan-juragan becak yang ada di kota wamena untuk bisa menjadi pengayuh becak.

Perkelahian masih berlanjut, kali ini mereka sudah saling merangkul, bukan karena sudah sampai pada tahap perdamaian. Merangkul sambil terkapar di atas aspal, saling melepaskan pukulan, sesekali berganti posisi, satu diatas memberikan pukulan dengan leluasanya, kemudian berganti lagi terus seperti itu. Emosi telah menutup akal sehat keduanya, amarah telah melupakan tentang kemesraan persahbatan keduanya, ego telah mengaburkan harapan dan cita keduanya.

Tipuuuuu. . Tipuuuuuu, suara sirine pasukan cokelat yang sedang berpatroli siang itu mulai mendekat, mencoba melerai perkelahian sengit di perempatan jalan irian siang itu, satu-satu penonton mulai pergi meninggalkan pertunjukan itu, dan euforia sorak sorai perlahan tak terdengar lagi, hanya beberapa orang saja yang masih setia bertahan menyaksikan.

Karena ketidak mampuan finansial, dan sudah cukup lama bersahabat, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di sepetak  kamar kos-kosan, yang nantinya akan di tanggung bersama biaya kosan itu, Satu nasib, sepenanggungan, sebagai sesama anak rantau, yang sama-sama mengadu nasib di kota wamena, saling menjaga, mengingatkan,  saling memperhatikkan merawat satu sama lain jika salah seorang  terkapat sakit tak berdaya.  hal ini bukan hanya atas dasar kesamaan ras akan tetapi lebih dari atas dasar  kesamaan rasa.

Kini masing-masing mereka sudah ada dalam rangkulan anggota polisi yang datang melerai, tinju pukulanan tak terlesat lagi, tak ada lagi saling pukul di antara mereka berdua, penonton satu-satu mulai meninggalkan arena pertunjukan, namun caci makian, hujat saling menghujat masih dilontar dari mulut keduanya, wajah yang hitan berbaur biru luka lebam di wajah, rambut keriting bergulung di kepalanya sudah bercampur debu aspal jalanan, tetapi urat-urat leher keduanya begitu jelas nampak mengeksperisikan emosi dan amarah, terus mencaci, seakan lupa tentang harapan cita dan tujuan awal keduanya bersama ke kota wamena untuk misi suci masa depan mereka. Tak mau berurusan dengan para anggota kepolisian, tak mau di gembleng ke kantor polisi, akhirmnya mereka bersepakat menyudahi aksi perkelahian di perempatan jalan irian itu.

Becak keduanya terbawa terpental di atas jalanan, koson menarik becaknya yang tak bisa lagi dikayuh karena rantainya lepas, sementara lombert kembali mengambil becaknya mengayuh becaknya perg menjauhi berteriak lagi mencari penumpang. Koson hanya melihat dengan tatapan kosong dengan amarah yang kembali reda, nampak jelas penyesalan dalam pandangannya melihat lombert yang kemabli mengayuh becak dan berteriak mencari penumpang dan meninggalkannya di perempatan jalan irian.  Kini hanya tinggal ia bersama becak bututnya yang hancur,  larut dalam lamunan kembali merenungi perkelahian yang baru saja usai di perempatan jalan irian.

Setelah diketahui ternyata perkelahian sengit siang itu di karenakan oleh hal sepele, karena memperebutkan seorang penumpang becak. Pengguna jasa transportasi yang pada akhirnya memilih jasa ojek lokal, karena tidak ingin memusingkan perkelahian mereka berdua yang memperebutkan dirinya sebagai penumpang becaknya masing-masing. Pada dasarnya mereka memperebutkan 10.000 perak dari seorang penumpang.

Pagi, diawal hari itu di sepetak kamar kos-kosan mereka, koson dengan kehangatan seorang sahabat membangunkan Lombert yang  masih terlelap di sampingnya, lalu menawarkan kopi hangat, saling meberikan siraman rohani pagi, kiicauan-kicauan pembicaraan hangat pagi hari, lalu berbagi sirih dan pinang untuk di kunyah bersama hingga mereka larut dalam canda tawa sampai hanya senyum yang memperlihatkan gigi-gigi kuning yang kian memerah  karena kunyahan sirih pinang tadi yang tersisa. Lombert menyisihkan uang 2.000 peraknya membeli Surya kretek  lalu berbagi sebatang rokok dan kembali tertawa di tengah kepulan asap rokok yang melayang dalam gubuk derita kos-kosan mereka.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pengalaman Nusantara Sehat

Proposal Penelitian dan Penulisan Biografi Abd Syukur Ibrahim Dasi oleh ( Tim Penulis: HM Ali Taher Parasiong, MHR. Shikka Songge, Hassan M. Noer)

LAMAKERA